SEJARAH SINGKAT SATPOL PP

SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP)

Satuan Polisi Pamong Praja (disingkat Satpol PP) adalah perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara ketenteraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Eksitensi organisasi diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Secara Struktur Organisasi Satpol PP Di Bawah Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri dan atau ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Satpol PP berkedudukan di seluruh Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala Satuan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur  melalui Sekretaris Daerah, sedangkan di daerah Kabupaten/Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala Satuan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.

Satpol PP melaksanakan tugas pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yaitu ketenteraman dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat. Oleh karena itu, Satpol PP merupakan salah satu perangkt daerah yang menyelenggaran urusan wajib pemerintahan pada pelayanan dasar masyarakat.

Keberadaan Polisi Pamong Praja yang akrab dikenal dengan sebutan Praja Wibawa seperti saat ini, dimulai pada era Kolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah pimpinan Gubernur Jenderal PIETER BOTH. Kebutuhan memelihara ketentraman dan ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu itu Kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari pendduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap gangguan ketenteraman dan keamanan. Untuk menyikapi hal tersebut maka dibentuklah BAILLUW, semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang bertugas menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta menjaga ketertiban dan ketenteraman warga. Kemudian pada masa kepemimpinan RAAFFLES,  dikembangkanlah BAILLUW dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut BESTURRS POLITIE atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah di Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman serta keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial khususnya pada masa pendudukan Jepang Organisasi Polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar dan dalam prakteknya menjadi tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian dan peran dan fungsinya bercampur baur dengan Kemiliteran.
Pada masa kemerdekaan tepatnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian Organisasi dari Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang mendukung Keberadaan Polisi Pamong Praja sampai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah  Nomor 1 Tahun 1948. Secara definitif Satuan Polisi Pamong Praja mengalami beberapa kali pergantian nama dan penambahan tugas pokok dan fungsi serta kelembagaan yang disesuaikan dengan kebutuhan di era Otonomi Daerah, adapun secara rinci perubahan nama, dan perkembangan tugas pokok fungsi serta kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja dapat dikemukakan sebagai berikut :

  1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah  Nomor 1 Tahun  1948 pada tanggal 30 Oktober 1948 didirikanlah  Detasemen Polisi Pamong Praja Keamanan Kapanewonyang pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya  menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja.
  2. Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Mendagri No.UP.32/2/21 disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.
  3. Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Prajadiubah menjadi Pagar Baya.
  4. Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun 1963 nama Pagar Bayadiubah menjadi Kesatuan Pagar Praja.
  5. Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Kesatuan Pagar Prajadiubah menjadiPolisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.
  6. Dengan Diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.
  7. Diterbitkannya UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih memperkuat keberadaan Satuan Polisi Pamong Prajasebagi Perangkat Daerah dalam membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban umum dan Ketenteraman Masyarakat.
  8. Ditindaklanjuti dengan PP No.6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja yang semula tugas pokok dan fungsi adalah menegakkan Peraturan Daerah dan Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat ditambah dengan Fungsi Perlindungan Masyarakat. Dan dalam penjelasannya tugas perlindungan masyarakat merupakan bagian dari fungsi penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, dengan demikian fungsi perlindungan masyarakat yang selama ini berada pada Satuan Kerja Perangkat Daerah bidang Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat menjadi fungsi Satpol PP.
  9. Terakhir, kelembagaan Satpol PP dipertegas sejak tanggal 13 September 2011 dengan diterbitkannya Permendagri No.40 Tahun 2011 tentang Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Satpol PP di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia serta Permendagri No.41 Tahun 2011 tentang Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Satpol PP khusus untuk Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, seiring dengan perkembangan era Otonomi Daerah, kelembagaan Satpol PP diperluas hingga ke tingkat Kecamatan, dimana pada kecamatan dibentuk Unit Pelaksana Satpol PP Kabupaten/Kota. UPT Satpol PP Kabupaten/Kota di Kecamatan dipimpin oleh Kepala Satuan yang secara ex-officio dijabat oleh Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Umum pada Kecamatan. Kasie Tramtib Kecamatan yang secara ex-officio sebagai Kasatpol PP tingkat kecamatan secara Teknis Administratif bertanggungjawab kepada Camat dan secara Teknis Operasional bertanggungjawab kepada KASATPOL PP Kabupaten/Kota.

Perlindungan Masyarakat atau disingkat Linmas adalah suatu keadaan dinamis dimana warga masyarakat disiapkan dan dibekali pengetahuan serta ketrampilan untuk melaksanakan kegiatan penanganan bencana guna mengurangi dan memperkecil akibat bencana, serta ikut memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat, kegiatan sosial kemasyarakatan.

Zaman Sesudah Kemerdekaan sampai dengan sekarang.

  • Pembentukan Organisasi Pertahanan Sipil, diatur dengan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1962 dan KEPPRES Nomor 48 Tahun 1962 dan KEPPRES Nomor 128 Tahun 1962.
  • KEPPRES Nomor 55 Tahun 1972, bahwa Organisasi Pertahanan Sipil (HANSIP), dalam sistem Hankamrata merupakan komponen Hankam dan  ABRI, berdasarkan KEPPRES Nomor 56 Tahun 1972 Organisasi Pembinaan Pertahanan Sipil (HANSIP)  di serahkan MENDAGRI.
  • Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 mengatur tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pertahanan Sipil termasuk Markas Distrik Pertahanan Sipil di lingkungan Dinas / Instansi, Perusahaan dan  Proyek
  • Perubahan Markas Daerah (Mada) Hansip Tingkat Provinsi menjadi Mawil Hansip Provinsi dan Mares Hansip Kab / Kota menjadi Mawil Hansip Kab / Kota.
  • Keputusan Mendagri Nomor 37 Tahun 1989 yang mengatur peningkatan peran serta Hansip dalam Perlindungan Masyarakat  dan  penanggulangan
  • Peraturan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1972 dengan pertimbangan mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2010 tentang Satpol PP, yang menyebutkan tugas dan fungsi berkaitan dengan Ketertiban Umum, Ketentraman Masyarakat dan Perlindungan Masyarakat saat ini dilaksanakan Satpol PP.
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 84 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat.
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 42 Tahun 2017 tentang Penyelenggaran Peningkatan Kapasitas Satuan Perlindungan Masyarakat.

HARI JADI PERLINDUNGAN MASYARAKAT

KEPPRES Nomor 128 Tahun 1962 Tentang perencanaan, penyelenggaraan, koordinasi dan pengawasan Pertahanan Sipil (HANSIP) dan Perlawanan Rakyat (WANRA) serta Keputusan Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan Nomor : MI/A/72/62 tanggal 19 April 1962 tentang Peraturan Pertahanan Sipil (HANSIP), maka setiap tanggal 19 April, diperingati secara nasional sebagai Hari jadi Hansip/Linmas.

PERANAN / PENGABDIAN LINMAS

Meskipun Hari Jadi Hansip/Linmas baru ditetapkan tanggal 19 April 1962 namun perjuangan dan pengabdian Hansip/Linmas sebelumnya tidak dapat ditinggalkan dari keikutsertaannya dalam membantu menegakkan kemerdekaan dan terciptanya keamanan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pengabdian Hansip/Linmas yang menonjol dalam membantu unsur Pemerintah, TNI dan POLRI diantaranya  :

  • Membantu Operasi Pemulihan pada masa Agresi Belanda I dan II.
  • Membantu Penumpasan Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948.
  • Membantu Penumpasan DI / TII, PERMESTA.
  • Membantu Penumpasan G 30 S/PKI Tahun 1965.
  • Membantu Pengamanan Pemilu Tahun 1955 s.d Tahun 2004
  • Membantu Pengamanan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten / Kota.
  • Membantu Operasi KAMTIBMAS Polri untuk Menanggulangi Gangguan Keamanan.
  • Membantu Pemerintah dalam Pembangunan.
  • Membantu Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

SEJARAH PEMADAM KEBAKARAN (DAMKAR)

Pemadam kebakaran atau disingkat DAMKAR merupakan unsur pelaksana dari Pemerintah yang memiliki tanggung jawab membantu masyarakat dalam penanganan kebakaran. Selain melakukan pemadaman api, petugas damkar juga dilatih untuk melakukan evakuasi seperti penyelamatan korban kecelakaan, bencana alam, dan evakuasi gawat darurat lainnya.

Jika dilihat dari sejarah, sejak zaman Hindia Belanda peran Damkar sudah banyak membantu masyarakat. Pemerintahan Hindia Belanda membentuk organisasi penanganan kebakaran, saat itu bernama de Brandweer. Organisasi ini dijalankan di setiap kota yang berada di hilir sungai maupun pesisir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Berdirinya de Brandweer di setiap kota memiliki rentang waktu yang berbeda-beda.

Berdasar catatan dalam buku : “Dari BRANDWEER ke Dinas Kebakaran DKI Jakarta” yang disusun oleh GH Winokan, Pensiunan DPK, urusan pemadam kebakaran di kota Jakarta mulai diorganisir pada tahun 1873 oleh pemerintah Hindia Belanda. Korps ini semula bernama Brandweer. Buat menangani masalah kebakaran di Jakarta, secara hukum dibentuk oleh Resident op Batavia melalui ketentuan yang disebut sebagai : “Reglement op de Brandweer in de Afdeeling stand Vorstenden Van Batavia”.

Suatu kejadian penting yang patut dicatat adalah terjadinya kebakaran besar di kampung Kramat-Kwitang. Kebakaran tersebut tak dapat teratasi oleh pemerintah kota pada saat itu. Peristiwa itu mendorong pemerintah atau Gemeente of de Brandweer, pada tanggal 25 Januari 1915 mengeluarkan “Reglement of de Brandweer (Peraturan tentang Pemadam Kebakaran); namun tak lama kemudian, yakni pada tanggal 4 Oktober 1917, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yakni melalui ketentuan yang disebut Staadsblad 1917 No. 602. Hal penting yang perlu dicatat dari kententuan ini adalah pembagian urusan pemadam kebakaran, yakni menjadi Pemadam Kebakaran Sipil dan Pemadam Kebakaran Militer.

Jika melihat perjalanannya, dari sejarah pemadam kebakaran Indonesia tentu peralatan yang digunakan saat itu berbeda dengan yang sekarang. Pada zaman Hindia Belanda pasukan pemadam kebakaran tidak menggunakan mobil yang berisi air, melainkan dengan memanfaatkan saluran air yang berada di dekat lokasi kebakaran dan membawanya dengan ember secara manual.

Cara tersebut terbilang kurang efektif karena jika terjadi musim kemarau, saluran air akan kering. Selain itu, kebakaran akan sulit dipadamkan apabila jauh dari sumber air. Di sisi lain, cara pemadaman dengan peralatan yang kurang memadai juga memiliki risiko tinggi bagi petugas. Para petugas kebakaran saat itu hanya dibekali dengan tangga, alat penyemprot air manual, dan baju serta helm yang mirip seperti jas hujan tidak tahan api. Baju pemadam api dulu justru melindungi badan dari air, bukan dari api.

Jika menelusuri jejak-jejak Brandweer di Jakarta. Dulu, salah satu markas pusat pemadam berada di Jalan Kiai Haji Zainul Arifin nomor 71, sekarang Jalan Ketapang, Jakarta Pusat. Pemadam juga pernah berkantor di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di Jakarta Timur, markas mereka di Jalan Matraman Raya. Mula-mula brandweer tidak memiliki petugas tetap ketika usulan muncul pada awal 1800-an. Baru pada 1850-an, petugas resmi pemadam api dibentuk.

Konon orang Betawi juga tidak bisa lepas dari sejarah berdirinya pemadam kebakaran ini. Buktinya ada Prasasti Tanda Peringatan Brandweer Batavia 1919-1929, diberikan oleh sekelompok orang Betawi sebagai tanda penghargaan dan terima kasih atas darma bakti para petugas pemadam.

Tanda penghargaan tersebut diberikan dalam bentuk “Prasasti” pada tanggal 1 Maret 1929. Dibuat ketika Brandweer Batavia merayakan ulang tahunnya yang ke-sepuluh pada 1929. Tanda prasasti tersebut sampai sekarang masih tersimpan baik di kantor Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta.

Berikut ini salinan tulisan selengkapnya prasasti tersebut:

“Tanda Peringatan Brandweer Batavia 1919 – 1929”

Di dalam masa jang soeda soeda
Bahaja api djarang tertjega
Habis terbakar langgar dan roema
Tidak memilih tinggi dan renda

Sepoeloeh tahoen sampai sekarang
Semendjak brandweer datang menentang
Bahaja api moedah terlarang
Mendjadikan kita berhati girang

Tanda girang dan terima kassi
Kami semoea orang Betawi
Menghoendjoekan pada hari jang ini
Tanda peringetan boekan seperti

Betawi, 1 Maart 1929

Prasasti tersebut menunjukkan bahwa pemadam kebakaran telah terbentuk secara resmi pada 1919.

Dari bunyi prasasti diatas, terutama pada pencantuman angka 1919-1929 dan menunjuk pada paragraf kedua, pada baris pertama dan kedua dianggap sebagai bukti otentik, maka kemudian tanggal 1 Maret 1919 ditetapkan sebagai tahun berdirinya organisasi Pemadam Kebakaran.

Bukti diatas diperkuat lagi dari data dalam buku “Dari BRANDWEER ke Dinas Kebakaran DKI Jakarta”, yang menyatakan bahwa berkaitan dengan peristiwa kebakaran besar yang tak teratasi pada tahun 1913, maka pada tahun 1919 Walikota Batavia waktu itu mulai mereorganisir kegiatan pemadam kebakaran, yang ditandai dengan didirikannya kantor Brandweer Batavia di daerah Gambir sekarang. Perubahan berikutnya terjadi pada tanggal 31 Juli 1922 melalui ketentuan yang disebut “Bataviasch Brandweer Reglement”, dan kemudian diikuti perubahan berikutnya, yakni pada masa penjajahan Jepang, aturan soal pemadam kebakaran berubah melalui melalui ketentuan dikenal dengan “Osamu seirei No.II” tentang Syoobootai atau pemadam kebakaran. Perubahan ini tercatat pada 20 April 1943. Baru setelah kemerdekaan, sekitar 1957 hingga 1969, istilah pemadam kebakaran kembali diubah menggunakan nomenklatur barisan pemadam kebakaran, disingkat (BPK).

Sampai saat ini keberadaan petugas pemadam kebakaran menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Dinas Pemadam Kebakaran adalah unsur pelaksana pemerintah yang diberi tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas penanganan masalah kebakaran dan bencana.

Setiap kota di suatu Provinsi memiliki dinas kebakaran yang siap melayani dan membantu masyarakat apabila mengalami musibah kebakaran. Sesuai dengan motto yakni “Pantang Pulang Sebelum Padam”, motto tersebut selama ini terus membakar semangat para petugas pemadam kebakaran dalam memadamkan amukan api.

Sejak Provinsi Sulawesi Barat berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, Satpol PP merupakan salah satu perangkat daerah yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban pemerintahan pada urusan ketertiban umm dan ketentraman masyarakat.

Dirangkum dari berbagai sumber